WHAT'S NEW?
Loading...

MAKALAH PERTEMPURAN SURABAYA DAN PERJANJIAN RENVILLE

MAKALAH SEJIN
PERTEMPURAN SURABAYA DAN PERJANJIAN RENVILLE





Disusun Oleh :
1.      Agil Adi Putri                                                          (02)
2.      Arvemin Sovia Gladis Angelina                              (04)
3.      Bima Alif Mahendra                                                (05)
4.      Maudy Adinda Revinadewi                                                (13)
5.      Wahyu Ardiansyah                                                  (29)
                       



DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR
SMA Negeri 2 Lumajang
Jl. HOS Cokroaminoto 159 Lumajang 67311
Telp/fax. (0334) 881036



A. Tokoh-Tokoh Dari Indonesia
1.Hariyono dan Koesno Wibowo


Indonesia telah sah menjadi sebuah negara yang berdaulat terhitung pada tanggal 17 Agustus 1945. Hal tersebut harusnya disikapi secara bijak oleh semua kalangan. Lebih utama lagi, untuk mereka yang bertahun-tahun menjajah Indonesia. Namun faktanya hal itu tak terjadi. Belanda masih saja ingin merebut kedaulatan Indonesia. Pada tanggal 31 Agustus 1945, pemerintah Indonesia memberikan maklumat agar sang saka merah putih terus selalu dikibarkan di seluruh nusantara. Hal itu diamini oleh segenap rakyat Indonesia.
Namun, di sebuah hotel di kota Surabaya, sebuah penghinaan telah terjadi. Adalah Ploegman seorang Belanda yang secara diam-diam mengibarkan bendera Merah Putih Biru (bendera Belanda) di sebuah tiang di atap Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit). Hal itu dilakukannya di malam hari pada tanggal 18 September 1945. Tentu, ketika pagi tiba dan rakyat Surabaya melihatnya, mereka merasa terhina atas apa yang dilakuan Ploegman. Maka pemuda-pemuda Surabaya pun berkumpul menggeruduk Hotel Yamato dan meminta Ploegman untuk menurunkan bendera Belanda.
Ploegman bersikukuh untuk tidak menurunkan bendera tersebut hingga akhirnya perkelahian terjadi. Ploegman tewas, sementara beberapa pemuda Surabaya tewas ditembak kolega Ploegman yang membawa senjata. Dua di antara pemuda yang menggeruduk hotel Yamato adalah Hariyono dan Koesno. Ketika perkelahian pecah, keduanya pergi ke atap Hotel Yamato dan serta merta menurunkan bendera Belanda. Tidak hanya itu, mereka dengan berani merobek bagian biru bendera tersebut dan membiarkan warna merah dan putih tersisa. Hal tersebut ditanggapi gemuruh oleh pemuda lain yang menyaksikannya.
2. Bung Tomo

Pengganti Jenderal Mallaby mengisyaratkan rakyat Surabaya untuk tunduk atas perintah Inggris. Hal itu disampaikan dengan selebaran yang ditebar tentara Inggris lewat pesawat. Hal itu sekali lagi mencoreng dan diangap menghina rakyat Indonesia. Bung Tomo yang memiliki nama asli Sutomo adalah kepala departemen penerangan di Organisasi Pemuda Indonesia. Dia adalah seorang orator sekaligus penyiar di Radio Domei (sekarang Antara).
Ketika dirinya mengetahui Inggris telah menyebarkan ribuan kertas yang berisi agar Rakyat Surabaya tunduk, di situ Bung Tomo naik pitam. Dirinya merasa apa yang telah dilakukan Inggris adalah bentuk penghinaan. Lewat radio yang ia tukangi, Bung Tomo berorasi dan membakar semangat perjuangan Rakyat Indonesia untuk menolak tunduk. Dirinya berpidato dengan berapi-api dan menyebut “Dan untuk kita saudara-saudara. Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!“.Mayarakat Surabaya pun akhirnya terpekik. Dengan gagah berani mereka hadapi tentara Inggris yang memang memiliki alusista lengkap.
3. K.H Hasyim Asy’ari


Bung Tomo benar-benar membuat masyarakat Surabaya berani untuk melawan. Hal tersebut juga didukung oleh Resolusi Jihad yang dikemukakan K.H Hasyim Asy’ari yang menyebut jika seorang muslim yang membela tanah air dan memertahankan negaranya dari penjajah adalah jihad. Dan mereka yang gugur dalam perang adalah syahid. Karena itulah pada tanggal 9 November di pesantrennya, K.H Hasyim Asy’ari meminta ribuan santrinya untuk turun gelanggang dan bersama-sama bertempur mengusir Inggris. Beberapa orang pun diminta untuk mengawal resolusi jihad ini. Mereka adalah Kyai Abbas dari pesantren Buntet Cirebon, Kiyai Haji Mas Mansyur, Kiyai Wahab Hasbullah, Bung Tomo, dan masih banyak lagi.
4. HR Mohammad Mangoendiprodjo.

\
Pria asal Sragen, Jawa Tengah ini memang sangat aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia khususnya di daerah Jawa Timur. HR Mohammad Mangoendiprodjo merupakan anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat atau (TKR), dia memiliki andil pada proses pengambilan senjata dari tentara Jepang.
Senjata yang diambil, digunakan untuk mempersenjatai para pejuang Indonesia dalam melawan sekutu. Saat pertempuran Surabaya, ia melakukan negosiasi dengan pihak sekutu, yakni Brigadir Mallaby dalam hal gencatan senjata. Perjuangannya, membawa bahkan membawanya disekap oleh pihak sekutu. 
5. Mayjend Sungkono.


Mayjend Sungkono merupakan Pangliman Angkatan Perang Surabaya. Beliau memiliki andil yang besar dalam perang habis habisan yang terjadi selama dua puluh hari. Tidak hanya memimpin pertempuran, ia juga dianggap mampu menyulut semangat para pejuang dengan pidatonya.
Isi pidatonya pada 9 November yang menyatakan kesediaannya untuk berjuang untuk Surabaya, meskipun seorang diri justru membuat pemuda Surabaya makin siap dalam berperang untuk melawan Inggis dan Belanda. Betul saja, kegigihan Mayjend Sungkono dan pasukan mampu membuat pihak lawan kewalahan.
Hal tersebut membuktikkan pada dunia internasional bahwa Mayjend Sungkono dan pejuang Pertempuran Surabaya patut dihormati atas kegigihan melawan pasukan rival yang telah bermodalkan senjata mumpuni dan rencana yang matang. Sebagai bentuk apresiasi, Kota Surabaya menamakan salah satu jalan di daerahnya dengan nama Jalan Mayjen Sungkono.
6. drg. Meostopo


drg. Meostopo merupakan atasan langsung dari HR Mohammad Mangoendiprodjo. Ialah yang membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Ia mengangkat dirinya sebagai Menteri Pertahanan At Interim, atas keputusannya tersebut dia mampu melucuti senjata miliki tentara Jepang dan merebut wilayah kekuasaan militer Jepang.
Senjata senjata yang diambil dari pihak Jepang, akhirnya menjadi modal perlawananan pejuang Pertempuran Surabaya. drg. Meostopo merupakan tokoh sejarah yang secara tegas menolak Inggris mendarat di Surabaya. drg. Meostopo juga ikut membangun basis pertahanan Pertempuran Surabaya dengan menyiapkan basis gerilya di Mojokerto.
7. Abdul Wahab
Abdul Wahab berperan mengabadikan peristiwa perobekan bendera di atap gedung Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit). Ia merupakan seorang fotografer. Dilansir dari TribunJogja, tak hanya foto saat peristiwa perobekan, Abdul juga mengabadikan gambar ketika pemuda Surabaya hendak berangkat ke hotel membawa senjata bambu runcing dan parang. Foto saat Bung Tomo berpidato di hadapan arek-arek Surabaya juga berhasil ia abadikan.
Abdul Wahab mati-matian untuk mempertahankan roll film tersebut. Bahkan, ia ke luar dari Surabaya untuk menyelamatkan diri. Namun sebelum pergi, sang ibu memberikan roll film yang dititipkan Abdul Wahab ke Hanifah. Ia kemudian menyimpannya di ikat pinggang. Setelah sampai di Sidoarjo, ia kemudian pergi ke Malang dengan diantar seorang teman. Di sanalah ia bertemu dengan kakaknya dan menyerahkan roll tersebut.

B. Tokoh-Tokoh Dari Pihak Sekutu
1.  Jenderal Mallaby


Jenderal Mallaby (kanan)
Aubertin Walter Sothern (A.W.S.) Mallaby atau juga dikenal dengan Brigadir Jenderal Mallaby (lahir di Britania Raya, 12 Desember 1899 – meninggal di Surabaya, Indonesia, 30 Oktober 1945 pada umur 45 tahun) adalah brigadir jenderal Britania yang tewas dalam peristiwa baku tembak 30 Oktober di Surabaya dan memicu keluarnya ultimatum Inggris dan meledaknya Pertempuran 10 November. Brigadir.
 Setelah kejadian perobekan bendera Belanda , pertempuran-pertempuran di Surabaya terjadi lagi. Belanda yang memang datang dengan diboncengi Inggris itu meminta bantuan negeri ratu Elizabeth tersebut untuk menyerang kembali kota Surabaya. Sampai akhirnya ketika gencatan senjata sudah terjadi, sebuah peristiwa genting terjadi. Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (A.W.S.) Mallaby terbunuh di sebuah sudut kota Surabaya. Jenderal Mallaby adalah jenderal tertinggi di Jawa Timur. Ia tewas ketika mobilnya berpapasan dengan milisi Indonesia. Sebuah percekcokan salah paham terjadi sebelum akhirnya dua anggota bersenjata beda kubu itu saling melancarkan serangan. Dari pihak Indonesia ada satu orang yang sampai sekarang tidak diketahui namanya yang menembak Mallaby hingga tewas. Tidak hanya itu, mobil Jenderal Mallaby juga terkena granat, dan akhinrya jenazah Mallaby sulit dikenali.
Mr. W.V.Ch. Ploegman adalah pimpinan belanda yang bertugas memimpin pengebaran bendera belanda (Merah-putih-biru) pada malam hari tanggal 18 September 1945 tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Lalu setelah pengebaran belanda tersebut, keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke Hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato.
Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian Sidik juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman,
3. Jenderal D.C. Hawthorn
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Dari pihak Sekutu dipimpin oleh Mayjen DC Hawthorn, Panglima tentara Inggris yang membawahi wilayah Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Ia didampingi Brigjen AW Mallaby, Kolonel LHO Pugh, Mayor M.Hudson, Kapten H.Shaw dan beberapa perwira lainnya.
Sedangkan dari pihak Indonesia, Presiden bersama Wakil Pesiden RI, Sukarno-Hatta atau popular dengan sapaan Bung Karno dan Bung Hatta didampingi Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin, Gubernur Jawa Timur, Suryo, Residen Sudirman dan para tokoh pejuang Arek Suroboyo, yakni: Doel Arnowo, Atmadji, Moehamad, Soengkono, Soejono, Roeslan Abdulgani, Kusnandar dan TD Koendan.
Dalam perundingan, semula Inggris menolak. Namun, pihak Indonesia minta jaminan tidak terulang kembali tindakan sepihak yang sifatnya melanggar persetujuan yang disepakati. Akhirnya, delegasi Inggris menyetujui adanya “biro kontak” yang bertugas mengawasi dan melaksakan persetujuan secara rinci.
4. Mayor Jenderal Robert
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.

C. Jalannya Pertempuran
Tanggal 1 Maret 1942tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa syarat tersebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang. Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya.
Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia BelandaNICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.

Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada malam hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.

Pengibaran bendera Indonesia setelah bendera belanda berhasil disobek warna birunya di hotel Yamato
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke Hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani pada tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg:
"... Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby).
Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik... karena informasi saya dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan ..."
10 November 1945
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.

Bung Tomo di Surabaya, salah satu pemimpin revolusioner Indonesia yang paling dihormati. Foto terkenal ini bagi banyak orang yang terlibat dalam Revolusi Nasional Indonesia mewakili jiwa perjuangan revolusi utama Indonesia saat itu.  Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan. Pasukan sekutu mendapatkan perlawanan dari pasukan dan milisi Indonesia.
Selain Bung Tomo terdapat pula tokoh-tokoh berpengaruh lain dalam menggerakkan rakyat Surabaya pada masa itu, beberapa datang dari latar belakang agama seperti KH. Hasyim Asy'ariKH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai/ulama) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung alot, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran ini mencapai waktu sekitar tiga minggu.
Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 - 2000 tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk melakukan perlawanan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.

D. Akhir Pertempuran
Senin, 3 Desember 1945. Langit Surabaya masih berwarna kelabu karena asap gedung-gedung terbakar. Bau mesiu tercium menyengat. Di tengah kota yang porak poranda, pasukan infanteri Inggris bergerak perlahan. Mereka menduduki tempat-tempat strategis sejengkal demi sejengkal.
“Pasukan Indonesia hanya bisa diusir dari Surabaya setelah pengeboman artileri dan penembakan meriam dari kapal perang secara besar-besaran…,” ungkap Mayor R.B. Houston dari Batalyon Gurkha Rifles ke-10 dalam What Happened in Java; History of the 23rd Division.
Kendati kekuatan tempur para pejuang Indonesia sudah mundur ke wilayah-wilayah sekitar Surabaya, namun kondisi keamanan di kota tersebut belum sepenuhnya pulih. Menurut Moekajat, para penembak runduk (sniper) masih menempati gedung-gedung tersembunyi dan kerap mengganggu pergerakan pasukan Inggris saat memasuki kota.
“Banyak serdadu Inggris yang mati karena tembakan para sniper kita itu,” ujar eks veteran Pertempuran Surabaya tersebut.
Penyelundupan para pejuang ke Surabaya pun masih berlangsung secara diam-diam. Mereka yang sebagian besar berasal dari kesatuan-kesatuan PRI (Pemoeda Republik Indonesia) itu menjalankan aksi-aksi gerilya kota secara sendiri dan nyaris tanpa koordinasi dengan pasukan Indonesia lainnya.
“Mereka bangga merasa dapat mempermainkan pasukan Inggris, yang dari segi keperkasaannya jauh lebih menonjol.” ujar Des Alwi dalam Pertempuran Surabaya November 1945.
Militer Inggris sendiri sudah menghentikan sama sekali aksi bombardir dan penembakan artileri sejak hari Minggu, 2 Desember 1945. Menurut Frank Palmos dalam Surabaya 1945: Sakral Tanahku, sekira 15 ribu orang Indonesia meninggal akibat aksi militer tentara Inggris tersebut. Dari pihak Inggris sendiri diperkirakan 1200 prajurit gugur (termasuk dua jenderal) dan ratusan lainnya hilang atau melakukan aksi pembelotan ke kubu lawan.
Dalam catatan Inggris sendiri, Pertempuran Surabaya disebut sebagai pengalaman tempur terberat pasca Perang Dunia II. Dalam surat kabar New York Times edisi 15 November 1945, para serdadu Inggris menjuluki “The Battle of Soerabaja” sebagai inferno atau neraka di timur Jawa.
Palmos menyatakan keterlibatan Inggris di Indonesia pasca menyerahnya Jepang merupakan suatu “kecelakaan”. Itu terjadi selain adanya sikap meremehkan pihak Inggris terhadap daya juang orang-orang Indonesia, juga karena kecerobohan pihak intelijen Belanda yang memberikan informasi keliru sekitar situasi Indonesia pasca berakhirnya Perang Dunia II.
Heroisme Pertempuran Surabaya berpengaruh besar kepada daerah-daerah lainnya di Indonesia. Di beberapa titik wilayah Jawa lainnya, tentara Inggris harus menghadapi perlawanan-perlawanan yang tak kalah sengit dari Surabaya. Dalam buku The Fighting Cock, Being the Story of the 23rd Indian Division 1942-1947 karya Latnan Kolonel A.J.F. Doulton, dilukiskan bagaimana tentara Inggris yang sejatinya sudah lelah berperang harus bekerja keras kembali menghadapi orang-orang Indonesia di Semarang, Ambarawa, Batavia, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Ciranjang dan Bandung serta beberapa tempat di wilayah Sumatera.“Kami seolah harus memasuki sebuah gudang mesiu yang siap meledak,” ujar Doulton.
Pihak Inggris mulai mencari jalan keluar. Pada 15 November 1946, Lord Killearn, Komisioner Istimewa di Asia Tenggara (1946-1948) yang pernah ditugaskan secara khusus oleh pemerintah Inggris menyelesaikan persoalan-persoalan Inggris di Indonesia, menulis di buku hariannya bahwa membiarkan tentara Inggris bercokol lebih lama di Indonesia adalah suatu tindakan bunuh diri.
“Jalan bijak yang harus kita ambil adalah meninggalkan tempat itu secepat mungkin…” tulis Killearn seperti dikutip Palmos dalam bukunya.

E. Akibat pertempuran
1.      Dampak Negatif
Indonesia kehilangan setidaknya 6.000 – 16.000 pejuang yang tewas dan 200.000 rakyat sipil yang mengungsi dari Surabaya. Tetapi Indonesia juga banyak mengalahkan korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 – 2.000 tentara.
Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Kurang lebih 160 ribu jiwa gugur saat peristiwa 10 November 1945. Paling banyak korban adalah di jalan raya Pahlawan yang saat ini dibangun Tugu Pahlawan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil menjadi korban pada hari 10 November 1945, maka Indonesia mengenang tanggal itu sebagai Hari Pahlawan sampai sekarang.
2.      Dampak Positif
Dampak lainnya yaitu dengan pertempuran Surabaya sebagai pembentukan jiwa nasionalisme bangsa Indonesia untuk menentang kembali dominasi Sekutu/NICA di Indonesia. Sehingga pertempuran Surabaya merupakan barometer dan motivasi bagi daerah-daerah lain yang ada di wilayah teritorial Indonesia untuk melakukan hal yang sama.

F. Perjanjian Renville
Perjanjian renville ialah persetujuan yang sudah diadakan perundingan-perundingan yang sudah menghasilkan isi dari persetujuan dan juga perjanjian-perjanjian yang disebut dengan perjanjian renville atau juga persetujuan renville, perjanjian adalah perundingan yang berlangsung dikapal renville.  Kapal milik AS di bulan desember 1947 sehingga nama dari persetujuan ataupun perjanjian renville, renville tersebut diambil dari perundingan yang terjadi di kapal renville.
Dengan perantara dari KTN pada akhirnya dapat diadakannya perundingan kembali. Dan perundingan berlangsung di atas kapan renville, milik dari AS di bulan desember 1947. Delegasi indonesia yang diketuai oleh Amir Syarifudin, sedangkan dari delegasi belanda yang diketuai oleh Abdulkadir Wijoyoatmojo. Dan perundingan ini menghasilkan persetujuan renville yang juga ditandatangani oleh kedua belah pihak di bulan januari 1948.

Isi Pokok Perjanjian Renville
  1. Belanda tetap berdaulat atas seluruh indonesia sampai kedaulatan diserahkan kepada republik indonesia serikat, yang harus segera dibentuk.
  2. RIS memiliki kedudukan yang sejajar dengan negeri belanda didalam UNI Indonesia-Belanda.
  3. Republik indonesia menjadi bagian negara dari RIS.
  4. Pasukan dari republik indonesia yang ada didaerah penduduk harus ditarik masuk ke daerah republik indonesia.
  5. Sebelun terbentuknya RIS belanda bisa menyerahkan sebagian dari kekuasaannya kepada pemerintahan federal sementara.
Tujuan Isi Perjanjian Renville
Untuk menunjukan pada dunia internasional bahwa republik indonesia hanya salah satu negara kecil yang ada pada wilayah indonesia.

G. Akibat Perjanjian Renville
1. Kabinet Amir Syarifudin Bubar ( januari 1948)
Karena kebijaksanaan politiknya yang menyetujui perjanjian renville yang ditentang keras oleh sebagian besar rakyat dan juga partai-partai. Perjanjian itu sangatlah merugikan bangsa indonesia.
2. Wilayah Kekuasaan Republik Indonesia Makin Berkurang
Daerah-daerah yang direbut oleh belanda pada perang kolonial I yang lepas dari republik indonesia. Wilayah republik, baik di jawa ataupun di sumatra terpecah-pecah. Didaerah satu dengan yang lainnya terpisah dari daerah pendudukan belanda.
3. Medan Bersenjata Makin Menyempit
Ribuan pasukan dari republik indonesia terpaksa harus hijrah dari daerah-daerah penduduk. Walaupun mereka sering melancarkan perang gerilya di belakang belanda.






0 komentar:

Posting Komentar